Motor FU VS Sepeda Ontel (Cerpen)

Rabu, 21 Oktober 2015

Aku terbangun dari tidurku, hari ini adalah hari sabtu dan cuaca sangat cerah sekali pagi ini kecuali hatiku yang sedang dilanda badai karena aku belum punya uang untuk membayar SPP-ku. Aku pun bergegas mengambil handukku lalu mandi tanpa membereskan tempat tidurku terlebih dahulu. Setelah selesai, aku pun menyiapkan buku-buku dan memakai seragam pramukaku.
Namaku adalah Fery Setiawan, aku dilahirkan bulan Maret tanggal 29 tahun 1997. Zodiakku adalah ARIES. Setelah rapi, aku menuju ruang tamu untuk meminta uang saku pada Ibuku. Ku lihat Ibuku sedang duduk termenung di kursi kayu yang hampir rapuh itu.
“Bu, aku berangkat sekolah dulu ya,” begitu kataku.
Ibuku pun mengangguk lalu memberikanku beberapa lembar uang 1000 rupiah, setelah ku hitung, ternyata hanya 2000 rupiah. Aku pun menerimanya. Baru saja aku ingin beranjak dari sana, Ibuku berkata padaku.
“Fery, maafkan Ibu, Ibu belum bisa membayar uang SPP-mu untuk bulan ini,” ucap Ibuku lirih.
Aku pun hanya tersenyum dan berkata, “Aku mengerti bu, jangan terlalu dipikirkan,” setelah itu, aku mencium tangan ibuku lalu berpamitan ke sekolah.
Di halaman depan rumahku, sudah terlihat sepeda ontel peninggalan Ayahku. Hanya itu satu-satunya kendaraan yang ada di rumah ini, aku pun mulai menaiki sepeda itu lalu berangkat ke sekolah. Saat sedang asyik mengayuh sepeda ontelku ini, tiba-tiba saja seorang anak seumuranku dengan motor FU-nya menyalip dan meledekku.
“Oi! Sepeda ontel butut! Hahaha!” anak itu tertawa seperti menghinaku. Iya, orang itu adalah Edo, teman sekelasku. Dalam hati aku sangat kesal dengan dirinya, ingin rasanya ku melempar papan tulis putih yang ada di kelas ke arahnya.
Tibalah aku di sekolah, aku memarkirkan sepeda ontelku ini, lalu berjalan menuju kelasku. Sampainya di kelas lagi-lagi Edo meledekku.
“Ontel oy! Ontel!” iya tertawa diiringi dengan tawa gengnya itu. Aku hanya bisa terdiam menahan marah, sahabatku menyuruhku duduk di sampingnya dan menyuruhku untuk tidak menghiraukan perkataan Edo tadi. Aku pun menaruh tasku lalu duduk di sebelah sahabatku yang bernama Lia, si gadis pesilat.
Bel tanda masuk kelas pun berbunyi, tetapi semua anak masih ribut karena sekarang adalah pelajaran sejarah, dan anak-anak yang ada di kelas IX-D hampir semua tidak menyukai guru ini khususnya anak laki-laki. Lia pun membuka pembicaraan.
“Um… Fer, apa kau tidak berniat melakukan sesuatu?” tanyanya. Aku menjadi bingung, apa yang dimaksudnya dengan “melakukan sesuatu” aku pun balik bertanya padanya.
“Maksudmu?” tanyaku singkat.
“Ya.. apa kau tidak ingin membeli sepeda yang lebih bagus? Daripada kau diledek terus oleh Edo dan teman-temannya,” ungkapnya.
Aku menunduk dan berpikir sejenak, ya, aku sejak dulu ingin membeli sepeda baru, tapi.. “Aku sangat ingin, tapi kau tahu kan? Tabunganku belum cukup, di samping itu, aku juga belum sanggup membayar uang SPP-ku,” ungkapku.
Lia terdiam untuk beberapa saat, lalu dia kembali berbicara, “Ya.. yang sabar ya, Fer. Aku juga sebenarnya ingin membantumu, tapi, aku sedang mengumpulkan uang untuk membeli BlackBerry, hehehe,” ungkapnya sambil tertawa pelan. Aku mengerti, sudah lama sekali sahabatku ini menginginkan sebuah BlackBerry, jadi aku tidak bisa berharap banyak untuk meminjam uang padanya.
Saat sedang asyik berbicara dengan Lia, tiba-tiba ada seseorang yang ikut bergabung dengan kami, namanya adalah Soma tetapi biasa dipanggil BOBO, oleh teman-teman satu kelas. Aku pun bertanya agak sinis padanya.
“Mengapa kau ada di sini? Apa kau juga ingin menghinaku seperti temanmu itu?!” bentakku pelan.
Ekspresi wajahnya kini berubah menjadi agak serius, “Jangan samakan aku dengan temanku itu! Aku tidak akan menghina dirimu! Meskipun dia itu adalah temanku, tapi aku bukan tipe orang yang suka merendahkan orang lain!” balas Bobo.
Lia akhirnya melerai perdebatan di antara kami, “Sudah Fery! Dia kan tidak bermaksud jahat, dan kamu Bobo! Ada perlu apa kamu kemari?”
“Aku hanya ingin meminta maaf atas perlakuan temanku tadi,” ucapnya.
“Sudah, itu tidak masalah bagiku,” jawabku singkat.
Bobo akhirnya kembali ke tempat duduknya, bersamaan dengan perginya Bobo, datanglah guru sejarah yang paling, paling, paling tidak disukai oleh anak-anak kelas IX-D, aku sendiri tidak habis pikir, kenapa sampai guru ini bisa dibenci oleh satu kelasku ini. Dan seperti biasa, anak-anak mulai melakukan “Penghancuran Kelas” sehingga membat guru ini kewalahan menghadapi sikap anak-anak IX-D, namun tetap saja, guru ini tidak pergi dari kelas, sehingga dia dikerjai habis-habisan.
Jam istirahat telah tiba, aku dan sahabatku Lia sedang asyik bercerita, tiba-tiba, ada segumpalan kertas yang dilempar ke arahku, setelah ku lihat ternyata Edo yang melakukannya.
“Ontel Butut! Hahaha!” teriaknya dengan keras. Aku sangat geram, aku pun menggebrak meja tempatku duduk.
“Aku tantang kau balapan, ALIEN!” bentakku. Semua anak tercengang, mereka sepertinya tidak percaya bahwa aku menantang Edo untuk balapan.
“Hah? Balapan? Dengan ontel bututmu itu? Hahaha! Kau pasti kalah!” jawabnya dengan santai.
“Kita buktikan saja! Jika aku menang, kamu harus memberiku uang 500.000!” kecamku.
“Oke! Siapa takut, tapi jika kamu kalah, kamu harus mau jadi pembantuku selama 2 bulan! Bagaimana?”
Deg! Aku terdiam untuk sesaat, darahku serasa terkumpul di otakku, apa yang baru saja aku katakan? Mengajaknya balapan? Ah! Aku tidak bisa menarik ucapaku kembali! Jelas saja dia yang akan menang dengan motor FU-nya! Tapi, nasi sudah jadi bubur, arang sudah jadi abu, perkataan akan menjadi kenyataan! Tapi, tak apa, aku harus menjalaninya, harus!
“Um…” aku tidak menjawab.
“Hahaha! Kenapa? Takut?” tantangnya lagi.
“Tentu saja tidak! Baik! Aku terima, DEAL!” kataku.
“DEAL!” balasnya.
Semua orang yang ada di kelas terlihat kaget, lalu bertepuk tangan mendengar perdebatan antara aku dengan Edo. Lia terlihat bingung.
“F-Fer? Kamu serius?” tanya sahabatku ini.
“Ya, aku lomba nanti malam jam 12:30, start di Pasar Sindhu, rutenya nanti bakal seperti ini Pasar Sindhu ke KFC ke Pasar Sindhu,” jelasku.
“Apa nanti kamu gak cape?” tanyanya lagi.
“Gak dong, aku kan sudah biasa, nanti kamu nonton ya?” jawabku mantap.
“Oke!” jawabnya.
Malam pun tiba, jam menunjukkan pukul 11:55 WITA, aku perlahan bangun lalu menuju halaman depan rumahku dengan mengendap-ngendap agar tidak ketahuan oleh ibuku. Aku mengambil sepeda ontelku, membuka kunci gerbang, lalu ku buka gerbang dan pergi menuju Pasar Sindhu dengan mengayuh sepeda ontelku ini.
Aku akhirnya sampai disana, terlihat beberapa teman satu kelasku disana, terlihat juga Edo sedang duduk diatas motornya. Lia dari jauh sudah melambai-lambaikan tangannya,
“Fery!” teriaknya dari kejauhan. Ada juga beberapa teman yang memanggil namaku untuk memberiku dukungan yaitu, Gopal, Gandhi, Wavi, dan Indah. Aku pun mengayuh sepedaku menuju ke arah Edo dan aku berada di sampingnya.
“Heh, sepeda ontel! Apa kau sudah siap? Ku rasa aku yang bakal menang deh!” katanya dengan PD.
“Heh! Ini kan baru jam 12:15! Berarti kita masih bisa istirahat 15 menit sebelum lomba! Lagian, aku juga masih cape nih,” jawabku.
“Oh ya udah, aku maklumi deh orang kayak kamu, hahaha! Ontel, ontel,” ledeknya lagi.
Aku akhirnya duduk sejenak sambil menunggu jam 12:30 tiba, Lia dan teman-temanku yang mendukungku ikut duduk di sebelahku.
“Semoga berhasil ya Fer, meski harapan untuk menang kecil,” kata Wavi menyemangatiku.
Teman-teman yang lain juga ikut menyemangatiku, aku pun menjadi bersemangat walaupun kata Wavi itu ada benarnya, harapan menang sangat kecil. Dan tibalah saat yang dinanti-nanti, jam menunjukkan pukul 12:30, hatiku mulai berdebar-debar tak karuan. Antara yakin dan tidak, apa aku akan menang atau tidak? Yah… terima saja apa yang akan terjadi nanti.
Edo mulai men-starter motor FU-nya, sementara aku hanya diam saja, tanpa distarter pun sepeda ontelku ini bisa berjalan. Lomba pun akan segera dimulai, Lia memegang bendera.
“SIAP? 1, 2, 3 GO!” Lia mengangkat benderanya.
Aku pun mulai mengayuh sepeda ontelku ini dengan cepat, sementara itu, Edo sudah berada di depanku, dia terlihat sengaja memperlambat laju motornya sambil berteriak.
“Ontel siput! Lelet banget kamu!” teriaknya sambil tertawa. Aku pun makin mempercepat laju sepedaku ini.
Tibalah di lampu merah KFC, keringatku sudah mulai mengucur dengan deras sementara Edo tidak berkeringat sedikitpun! Tapi dengan segenap tenaga, aku mengayuh sepedaku ini, sekarang kami sudah berada di dekat Mc. Donalds, laju sepedaku semakin lambat karena tenagaku mulai habis, pelan tapi pasti, aku terus melanjutkan laju sepedaku. Hampir sampai di garis finish, Pasar Sindhu! Edo sudah sangat dekat dengan garis finish sementara aku harus mengayuh beberapa meter lagi untuk mencapai garis finish.
“Fery! Fery! Ayo Fer!” teriak para pendukungku.
“Go Edo Go Edo Go!” balas pendukung Edo.
Aku mempercepat kembali laju sepedaku, hampir dekat! 2 meter lagi! Tapi sepertinya, aku akan kalah, walaupun begitu, ini semua salahku karena aku yang menantangnya.
Tapi… ku lihat motor FU yang dikendarai Edo mati, dan dia berusaha untuk menghidupkannya tapi tetap saja motor itu tidak hidup, dengan sisa tenagaku, aku mengayuh sepedaku ini dan akhirnya.. BERHASIL! Aku menang! Teman-teman yang mendukungku terlihat sangat senang sekali!
Sesuai janji, Edo memberikanku uang sebesar 500.000 rupiah, lumayan untuk membayar tunggakan SPP-ku yang selama ini belum ku lunasi.
“Selamat Fer, kamu menang,” kata Edo dengan lemas.
“Thanks duitnya! Hahaha, gak nyangka ontelku bisa menang!”
“Hah coba saja bensin motorku full, tadi aku lupa isi bensin,” jawabnya cengengesan.
Aku hanya tertawa mendengar perkataannya, salah sendiri dong. Lia dan teman-teman lain menghampiriku, mereka mengucapkan selamat atas kemenanganku.
“Hebat! Fery menang!” kata mereka dengan semangat.
Sebelum pulang, aku mentraktir mereka makan di Mc. Donalds dan aku menghabiskan 100.000 rupiah untuk mentraktir mereka. Tapi, tak apa, lagi pula mereka sudah bela-bela kabur dari rumah hanya untuk menonton dan mendukungku. Hahaha!
Setelah selesai acara makan-makan tadi, kami pun kembali ke rumah masing masing.
“Bye! Sampai ketemu lagi hari senin ya, Fer!” ucap mereka semua.
Aku kembali mengambil sepeda ontelku, lalu pulang ke rumah lagi. Ternyata tidak selamanya barang bagus itu bisa menjadi yang pertama! Buktinya, ontelku menang melawan motor FU milik Edo. Thank You Very Much, my Ontel!
Cerpen Karangan: Fery Setiawan

0 komentar:

Posting Komentar