Sepotong senja terperangkap sedih pada sepasang mata hitam yang telah
uzur. Langit jingga keemasan itu pingsan seketika di balik rerimbun
pepohonan kopi. Membuat hati si lelaki tua semakin tercabik sepi,
menerobos rindu yang meradang, pada kisah dua cangkir kopi hitam kental
dengan senja pukul lima sore. Duduk bersila di dalam gazebo, menatap
lamat-lamat sang matahari, hingga dia menghilang ditelan bumi Dampit.
Dialah Ayahku, sang juragan kebun kopi di kota kami. Enampuluh lima
tahun usianya. Namun garis-garis kelelakian yang tergurat pada binar
tubuhnya masih kuat. Tidak renta dan rapuh seperti kebanyakan. Dia hidup
dalam tempaan kelam, hingga datang sebuah cahaya hangat, menariknya
bangkit untuk berjuang pada hidup.
Kuaduk perlahan dua cangkir kopi hitam yang mengepul. Tigapuluh
adukan. Tidak akan lebih ataupun kurang. Sebentar senyumku terkembang,
memandang sebuah gazebo tua di belakang rumah. Lelaki tua kesayanganku
sudah duduk di sana menanti anak gadisnya, membawa nampan dan
menghidangkan cangkir-cangkir kopi ini di sampingnya.
Ah, sudahlah. Ayah telah menungguku. Tak pantas jika kubuat dia semakin tenggelam dalam sepi.
“Menunggu lama ya, Yah? Maaf, Ranti keasyikan melamun tadi.” Kulempar senyum padanya, lalu segera duduk di samping kiri.
Ayah melingkarkan tangan pada pundakku, menepuknya pelan penuh kasih.
Dan dengan keheningan sore, kami terdiam sepersekian waktu, untuk
menikmati langit yang mulai menarikan tarian keemasan.
“Tak terasa ya sudah limabelas tahun berlalu, dan keindahan senja
tidak pernah berubah sedikitpun. Kenangan akan Bunda pun masih segar di
pikiran Ayah,” suara Ayah memecah sepi.
Aku hanya terdiam sendu. Tidak bisa mengerti bagaimana arti sebuah
kenangan itu. Bukan karena apa, tetapi saat Bunda meninggal, aku baru
berumur tiga tahun. Memori otak sudah memudar tergerus waktu. Tidak
ingat bagaimana dahulu kulalui hari bersama Bunda.
Yang membuat hatiku tersentuh haru hanya sebuah keteguhan yang masih
dijamah oleh Ayah. Cintanya kepada sang istri masih begitu kuat. Tidak
menguap sedikitpun. Masih berbinar cerah. Masih mengharum semerbak. Dan
masih seindah warna senja di perkebunan kopi.
“Bundamu itu seorang malaikat berupa manusia. Jika bukan karena
dirinya, tidak mungkin Ayah yang dulu sebuah sampah di jalanan, bisa
seperti ini,” Ayah menghentikan kalimatnya sebentar untuk menghela
nafas. Lalu melanjut dengan berbisik, “dia itu berlian, dan Ayah yang
membuat kilaunya meredup karena cinta.”
Mata Ayah mulai berkaca-kaca. Selalu saja seperti itu, setiap kali sebuah penyesalan menggelitik ingatannya.
Cerita tentang Bunda sudah sering kudengar, setiap hari, sama seperti
saat ini. Hingga bayang-bayang mereka berdua melekat begitu erat pada
imajiku.
“Ayah itu miskin, hidup terlunta di jalanan. Kerjanya ngamen, mabuk,
nyopet dan dikejar-kejar orang. Lalu datanglah dia, gadis berkerudung
yang menjadi salah satu relawan dari sebuah lembaga sosial, mengajar
anak-anak jalanan yang putus sekolah di kampung Banar. Sungguh sejuk
hati ayah saat melihat sosoknya. Anggun, berwibawa, selalu tersenyum dan
tidak jijik pada kami.”
Ayah mengangkat lengannya, bangga memamerkan tato-tato tua yang
terukir dari ujung hingga pangkal. “Nih, lihatkan tato Ayah. Semua takut
pada ini, wong Ayah ini ketua geng di sana. Tetapi, gadis itu tidak.
Dia malah semakin mendekat. Dengan kegigihannya, mengajak Ayah sholat.
Cih, waktu itu aku sering marah sama dia, Ranti. Tapi, dimarahi model
bagaimanapun, dia bergeming. Tidak menyerah sedikitpun.”
“Ayah..” Aku tersenyum melihat binar wajah Ayah bersemu merah. Dia
selalu tampak bahagia setiap kali jatuh pada bagian alur kisahnya yang
ini.
“Suatu hari, kulamar gadis itu. Ayah benar-benar jatuh cinta, sudah
mantap di hati. Dia bersedia, tetapi dengan syarat, Ayah harus mau
belajar sholat dan mengaji. Wah, kala itu, aku ditertawakan rekan-rekan
sesama preman. Malu sebenarnya, tetapi cinta sudah membuka hati
perlahan-lahan. Hari-hari Ayah penuh rasa bahagia bersama gadis
berkerudung tercinta. Tetapi,” Ayah berhenti berkata. Binar cerahnya
mulai redup kembali.
“Keluarganya menentang anak gadis itu menikah dengan seorang preman.
Kami berdua sempat dirundung sedih berkepanjangan. Semuanya kembali
suram. Hingga suatu hari, dengan keberanian yang berpendar-pendar,
kuajak dia kawin lari. Tetapi gadis itu menolak. Dia berkata, restu
orangtua adalah surga baginya. Karena restu mereka adalah sebuah doa,
yang akan menguatkan kita menapaki sebuah pernikahan. Ah Ranti,
mendengar itu Ayah semakin jatuh cinta kepadanya.”
“Bunda wanita yang hebat ya, Yah. Ranti iri, ingin bisa kelak menjadi istri solehah seperti Bunda.”
“Bundamu itu gak ada duanya di dunia ini,” Ayah terkekeh senang,
“bahkan dalam kesedihan, dia tetap kukuh berusaha meyakinkan kepada
kedua orangtuanya bahwa Ayah benar-benar telah berubah. Dan Ayah
buktikan itu, Ranti. Pelan-pelan kami lakukan pendekatan, pun juga
dengan doa-doa kepada Allah. Meminta agar pintu hati mereka dibuka.”
Ayah manggut-manggut sekali lagi sambil tersenyum. Bahkan aku hampir
berpikir bahwa dia telah gila karena kenangannya sendiri. Tetapi bukan,
Ayah hanya sangat mencintai Bunda, itu saja.
“Setelah berbulan-bulan berjuang, akhirnya restu itu kami dapat lalu
segera menikah. Sederhana sekali, hanya berbalut kebaya putih tua milik
Ibu Mertua, dan jas lusuh pinjaman dari kerabat Ayah. Namun, acaranya
sakral sekali, kami semua pada menangis karena terharu.”
“Saat itu Ayah dan Bunda pasti sangat bahagia bukan? Aku bisa membayangkannya.” Kataku sambil tersenyum.
“Pastilah itu sayang. Nah, setelah menikah itulah kami pindah ke bumi
Dampit ini. Membangun sebuah gubuk sederhana, dan bekerja seadanya di
ladang kopi. Semua yang kami lalui tidak mudah, banyak cobaan yang
menghancurkan hampir semua pertahanan dan keyakinan cinta kami. Tetapi
dia itu wanita tangguh. Kesabarannya menghadapi Ayah sungguh
menakjubkan.”
Cerita Ayah makin mengalir. Cangkir kopi yang terdiam sedari tadi
direguklah isinya, untuk menuntaskan dahaga. Sebentar kemudian, kembali
bergulat pada kenangan.
“Dari dirinya, Ayah banyak belajar tentang arti sebuah kehidupan.
Bahwa setiap jengkal nafas yang kita hembuskan, ada
pertanggungjawabannya kepada Sang Maha Kuasa. Bahwa hidup adalah suatu
perjuangan, tidak boleh menyerah, tidak boleh mengeluh. Hingga akhirnya
semua ini kami dapatkan. Inilah bukti cinta kami, Ranti. Kehadiranmu
juga, begitu menambah kebahagiaan.”
Kuraih tangan Ayah yang kasar dan berbau ketangguhan seorang pejuang hidup di masa mudanya itu.
“Jika saja Ayah mengetahui sejak awal tentang penyakit Ibumu,” Ayah
menitikkan bulir air dari ujung mata. Hati tuanya mulai bergetar. Perih.
Mengingat sebuah perjuangan antara hidup dan mati sang istri.
Bagaimana tidak. Wanita yang telah menariknya dari lubang hitam itu,
terus menyimpan lukanya sendiri. Bertahan demi mendukung perjuangan sang
suami untuk memperbaiki hidupnya. Saat sakit, senyumnya tetap
terkembang. Pelukannya tetap menghangatkan. Jiwanya yang terang
benderang selalu berhasil membuat semangat suaminya berapi-api.
Begitulah kisah Ayah tentang keteguhan hati Bunda.
Bunda begitu sempurna. Tidak akan ada wanita yang bisa setangguh
pengorbanan Bunda. Pun sekuat imannya. Dan juga sesabar dirinya dalam
menghadapi setiap hantaman kepedihan. Entah pada saat Ayah jatuh dan
menyerah. Ataupun pada saat Ayah marah dan mengumpat pada Tuhan.
“Ayah, tidak benar jika ayah membuat binar Bunda yang bak berlian itu
meredup karena cinta Ayah yang merasa kotor dan rapuh, hanya karena tak
bisa menjaga nafasnya. Justru karena Ayahlah, berlian itu makin
bersinar. Pasti saat ini, Bunda juga selalu menatap kita di balik binar
senja itu. Mengintip di sela-sela jingga, bangga pada Ayah karena masih
mencintainya.”
“Iya, kau benar Ranti. Bunda memang semakin bersinar sejak bersama
Ayah. Wajahnya semakin ayu saja. Ah, jika seandainya kau bisa melihat
dirinya saat itu, Ranti.”
“Bunda sangat bahagia saat bersama Ayah, dia tak pernah menyesal
memilih Ayah sebagai imam dalam hatinya. Ranti yakin itu, Ayah..”
Air mata Ayah berhasil menetes kembali. Menderas jatuh ke bawah pipi.
Senja semakin melindap. Sekali lagi, hari ini dilalui dengan kenangan
yang sama. Dua cangkir kopi hitam dengan tigapuluh adukan dan senja
pukul lima sore. Sama seperti hari di tahun-tahun lalu, bersama sang
istri tercinta.
Cerpen Karangan: Ajeng Maharani
Dua Cangkir Kopi Senja Milik Ayah (Cerpen)
Rabu, 21 Oktober 2015
Diposting oleh
Amanda Regita Fatris
di
04.24
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar