Saat ini, bukan menangis karena bersedih kau meninggalkanku tapi aku
menangis karena sulit bagiku untuk melupakan cinta yang pernah ada dalam
hidup kita. Cinta pertama yang kau hadirkan untukku. Memang, kau
bukanlah pacar pertamaku, namun kau adalah cinta pertamaku. Ternyata,
selama ini aku menjalin hubungan bukan atas dasar cinta, melainkan hanya
sebatas suka. Dan semenjak mengenalmu, cinta itu telah datang dalam
hidupku. Cinta itu telah merasuk dalam jiwaku.
Bunyi dering Hp-ku kala itu mengagetkanku. Ku raba saku celanaku dan
ku ambil sebuah Hp mungil, di layar itu tertera nama yang sangat
familiar sekali bagiku. Dika… segera ku pencet keypad hp-ku yang
bertuliskan answer itu.
“Halo…” Sapaku memulai percakapan.
“Halo sayang…” Balas seseorang di seberang.
“Ada apa?” Tanyaku sok cuek.
“Gak apa-apa sih, aku cuma pengen denger suara kamu aja.”
“Kayak yang udah lama gak ketemu aja. Padahal kan, kemarin udah ketemu.”
“Iya sih, emangnya kamu gak suka ya aku telepon?”
Aku tak menjawabnya.
“Oh iya, besok aku mau tanding balap.”
Aku tetap tak menjawabnya. Entah, apa yang terjadi padaku saat itu.
Seperti ada yang mengganjal dalam benakku saat mendengar bahwasannya ia
akan bertanding balap liar itu lagi.
“Kamu masih di situ kan?” tanyanya karena tak ada jawaban dariku.
“Iya. Aku masih di sini kok.” jawabku untuk meyakinkannya.
“Kok gak ada respon tadi sewaktu aku bilang kalau aku mau ikut balap liar?”
“Ga apa-apa. Kamu yakin mau ikut balap liar itu?” tanyaku memastikan.
“Iya sayang… emangnya kenapa?”
“Aku cuma takut terjadi sesuatu sama kamu.”
“Ya ampun sayang… ikut balap liar, kan emang hobiku dari dulu. Tapi,
buktinya aku gak apa-apa kan? Lagian, tumben-tumbennya deh kamu kayak
gini?”
“Aku juga gak tahu. Tapi…”
“Udah, mending kamu doain aku biar aku gak papa dan aku jadi juaranya. Oke.”
Aku menghela napas perlahan. Sepertinya dia memang tidak bisa ku
halangi untuk urusan yang satu ini. Emang sih, itu hobi dia. Tapi apa
dia gak tahu kalau saat ini aku sangat mengkhawatirkannya. Aku tidak
ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Karena aku sayang padanya.
Tapi apa boleh buat.
Jam dinding kamarku telah melangkah ke arah 09.00. Aku bersiap-siap
dan bergegas menuju area lapangan balap liar bersama temanku, Ifa. Kami
meluncur ke tempat itu. Sampainya di sana, ternyata tempat di sana sudah
dipenuhi oleh penonton yang sangat antusias untuk menonton pertandingan
itu. Aku dan Ifa segera mencari tempat seenak mungkin. Mataku menyapu
ke segala arah tempat yang sangat luas itu. Namun, tak ku temukan
seseorang yang menjadi alasanku menonton pertandingan itu. Sosok yang
sangat ingin ku lihat kala itu. Tapi, ke mana dia? Sosok itu tak juga ku
temukan.
Semua peserta balap liar itu sudah berbaris di area. Ku telusuri satu
persatu semua peserta itu dari jauh. Pandanganku berhenti pada
seseorang yang sudah siap siaga dengan motor kesayangannya itu. Iya, itu
dia. Pandangan kami bertemu. Dia melambaikan tangannya disertai senyum
manis yang menghiasi bibirnya. Entah, aku harus senang atau sedih
melihatnya. Ku balas lambaian tangannya dan ku tunjukkan senyum
termanisku untuknya. Untuk memberikan dia asupan energi penyemangat
dariku. Walaupun aku tak begitu menyetujui dia ikut pertandingan
terlaknat itu, tapi aku tetap akan men-support dia seratus persen.
Melihat dia yang sudah siap di atas motornya, terlintas kembali rasa
khawatir yang menyesakkan dadaku. Ingin sekali aku berteriak.
“Dika… Plisss jangan lakuin itu… Jangan ikut pertandingan konyol ini
demi aku. Please stop it!” tapi apalah daya. Aku juga tidak mau
mematahkan harapannya. Aku akan terus mendukungmu.
“Ciye… ciye…” ledek Ifa padaku.
“Apaan sih Fa?” tanyaku pura-pura tidak mengerti maksud Ifa.
“Tuh, pangeran kamu udah siap jadi sang juara.” Ujarnya sembari menertawaiku.
“Amien… Fa, minta doanya ya?”
“Buat?”
“Ya buat Dika lah, masak buat aku.”
“Kamu kenapa sih, Dit?”
Aku tak langsung menjawab pertanyaan Ifa. aku juga masih bingung
dengan keadaanku sekarang. Tidak seperti biasanya perasaanku khawatir
berlebihan seperti ini. Padahal, ini bukan pertama kalinya Dika
mengikuti balap liar seperti ini. Tapi, perasaan ini tidak seperti
biasanya. Sangat aneh.
“Dita…” panggilan Ifa membuyarkan lamunanku.
“Eh, kenapa Fa?” tanyaku spontan.
“Kamu tuh yang kenapa? Dari tadi aku nanya, gak dijawab sama kamu.”
“Aku cuma khawatir sama Dika.”
“Kamu tahu Dika kan, dia itu selalu menang dalam pertandingan kayak
gini. Jadi ngapain kamu khawatir kayak gitu? Mending kamu sekarang
berdoa buat dia dan support dia. Karena dukungan dari kamu sangat
berharga untuknya saat ini.”
“Iya. Aku juga gak tahu kenapa, tapi sekarang ini aku sangat khawatir. Perasaanku gak enak Fa.” Jelasku.
“Dia pasti baik-baik aja kok. Udah, tuh dia ngelihat ke sini.” Ujar Ifa
sambil menunjuk ke arah Dika yang sedang melihat ke arahku.
Dengan bahasa isyaratnya, ia mencoba berkomunikasi denganku. Aku bisa
menangkap maksudnya, bahwa ia memintaku untuk men-supportnya. Aku
menganngguk untuk memenuhi keinginannya. Tak lama kemudian, hp-ku
berdering.
“Iya, ada apa?” Tanyaku.
“Kok cemberut gitu sih? Mana senyumnya?” suara Dika membuatku sedikit tenang.
“Iya. Nih udah senyum.” Ujarku sambil memperlihatkan senyumku padanya.
“Makasih ya udah dateng. Terus support aku ya!”
“Iya. Aku akan terus support kamu.”
“Udah dulu ya. Pertandingannya udah mau dimulai nih.”
“Iya. Semangat ya!” ujarku memberi semangat yang sekaligus mengakhiri
percakapan kami. Sebenarnya aku tak ingin mengakhiri percakapan kita
kala itu, tapi pertandingan sudah mau dimulai.
Ia memakai helm itu, begitupun peserta yang lainnya. Seorang gadis
yang akan menjadi orang yang akan memulai pertandingan itu pun sudah
berdiri di tengah-tengah para peserta. Dan siap dalam sekejap memulai
pertandingan itu. Tapi ku lihat layar Hp-ku ada satu pesan dari Dika.
Tak menunggu waktu lama, aku langsung membacanya. Yang berisi,
“Hei sayang… sebelum aku mulai balapan ini, aku pengen lihat senyum kamu dulu dong! Aku sayang kamu.”
Aku pun membalasnya. “Aku juga sayang kamu.” Lalu aku mengirim pesan itu
sembari tersenyum kepadanya. Terlihat sangat girangnya ia waktu itu.
Gadis itu pun memberikan tanda pertandingan sudah dimulai. Semua
peserta mengeluarkan kemampuannya sekuat tenaga. Bersamaan dengan
pertandingan dimulai, sejak saat itu juga hatiku tanpa henti berdegup
kencang. Darahku berdesir dengan sangat derasnya. Jantung ini tak bisa
ku kontrol detaknya. Kenapa? Apa yang terjadi denganku? Selama
pertandingan dimulai, aku tak henti-hentinya membaca shalawat, dan terus
berdoa dalam hatiku untuk keselamatan Dika. Balap liar kala itu hampir
membuatku mati berdiri karena serangan jantung.
Dengan masih diterpa rasa khawatir yang berlebihan, tiba-tiba semua
penonton berhamburan memasuki area balap liar itu. Apa yang terjadi? Aku
pun tak kuasa untuk tak menghiraukannya. Aku dan Ifa ikut-ikutan
berlari untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kami menyela
kerumunan itu. Satu persatu orang ku sela untuk melihat objek yang
membuat heboh semua orang di sana. Dan Innalillah…
“Dika…” Panggilku ketika melihat seseorang yang sudah tergeletak di
tanah dengan berlumuran darah memenuhi hampir seluruh tubuhnya. Ia
terbaring tak berdaya dengan wajah yang sangat pucat.
“Dita…” Ujarnya dengan sangat pelan. Aku mendekatinya dan memangkunya. Ia meneruskan kata-katanya.
“Aku udah gak kuat lagi. Maaf karena aku gak dengerin kamu. Aku pergi… I
Love You Dita…” Ujarnya dengan terbata-bata. Sekaligus menjadi kata
terakhirnya. Sebelum akhirnya, ia menghembuskan napas terakhirnya.
“Dika… jangan tinggalin aku!” Aku semakin histeris. Aku masih tidak
mempercayai, seseorang yang sangat aku cintai kini telah tiada. Kini, ia
meninggalkanku, meninggalkanku untuk selamanya.
Harapanku, itu hanyalah sebuah mimpi buruk. Yang akan hilang saat aku
terbangun. Namun, itu adalah kenyataan. Sebuah kenyataan bahwa Cinta
Pertamaku kini sudah meninggalkanku. Meninggalkanku sendiri di dunia
ini.
—
Di bawah langit berbintang dengan bulan yang pucat inilah aku berada
malam ini. Seperti saat lalu, saat ini pun masih tampak gulana. Namun
seperti biasa aku ingin berteriak memanggil nama Dika. Malam makin larut
aku memutuskan membubarkan lamunanku untuk beristirahat setelah puas
melihat ciptaanNya yang sungguh mempesona. Subahanallah.
“Ya Tuhanku, bangunkanlah untuknya sebuah rumah di sisi-Mu..” kegetiran itu meremas kalbu.
Semuanya tinggal kenangan.
“Kini aku mulai melangkah, Tuhanku. Jangan halangi aku, Aku akan
tetap beriman pada-Mu. Aku tak akan melibatkan siapa pun untuk menghapus
rinduku, rindu ini akan aku nikmati sendiri. Tuhan tolong beri aku
jalan, aku sudah tak kuat. Bara rindu menyala-nyala dan lama membakar
hatiku.” Dengan tenang, aku menarik napas dan mengeluarkanya.
“Tuhanku, maafkanlah aku! Karena masih tidak bisa menerima takdir-Mu.
Dan terima kasih karena Engkau telah mempertemukan aku dengan Cinta
Pertamaku, walaupun pada akhirnya kisah kami berakhir tragis!” Aku
berteriak. Berharap udara menghantarkan suaraku.
“Aku menunggumu di batas senja. Walaupun dirimu sudah tak lagi
bersamaku, namun aku percaya cinta itu tidak pernah meninggalkanku.
Karena First Love Never Die.”
The End
NB: Buat temen-temen yang punya kisah seperti di atas. Jangan galau,
dan jangan sampai menyalahkan takdir Allah. Karena semua makhluk di
dunia ini pasti akan merasakan kematian. Dan percayalah, orang itu tidak
benar-benar meninggalkanmu, tapi justru menjadi abadi bersamamu.
Senin, 21 April 2014
Cerpen Karangan: Alief Dealova
First Love Never Die (Cerpen)
Rabu, 21 Oktober 2015
Diposting oleh
Amanda Regita Fatris
di
04.21
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar