Luka Masa SMP (Cerpen)

Rabu, 21 Oktober 2015

Aku menatap bangunan di depanku. Sedikit rasa gugup menyelimutiku. Hari ini adalah hari dimana aku bersekolah di SMP Garuda. Minggu kemarin, aku baru saja pindah dari Surabaya menuju Balikpapan kota kelahiranku. Itu semua karena pekerjaan Ayahku yang selalu berpindah-pindah. Kali ini beliau dipindah tugaskan di Balikpapan.
“Murid-murid harap segera masuk ke kelas masing-masing”
Yoosh! Aku sangat semangat untuk bersekolah!
“Kenalkan, nama Kakak Anita Kusumaningsih. Kakak yang mengurus kelas ini. Kakak juga mengurus kelas sebelah. Jadi kalau Kakak tidak ada, harap jangan ramai ya.”
Kak Anita menatap adik-adik kelasnya yang akan menjadi murid kelas 1 SMP Garuda. Tapi entah mengapa, atau mungkin nasib sial menghampiriku, Kak Anita malah melihatku. Kak Anita berjalan menuju tempat dudukku.
“Siapa namamu, dik?”
Aku salah. Kak Anita ternyata melihat cowok di sebelahku. Yah, dia memang jakung. Tegap, pendiam, keren dan termasuk anak tinggi walaupun baru saja lulus kelas 6 SD.
“Nama saya Galih.” Jawabnya singkat.
“Oh, jadi namanya Galih.” Batinku.
“Kalau kamu, dik?”
Ups. Aduh, Kak Anita kayaknya sengaja nanyain cowok itu baru aku deh. Itu sama saja. Kenapa tidak langsung tanya. Uhm. Tapi karena aku anak baik maka aku jawab pertanyaan Kak Anita.
“Na-namaku Karin, Kak.” Nada suaraku terdengar gugup.
“Nggak usah gugup, dik. Santai aja. Kayak cowok di sebelahmu. Kalian cocok loh jadi pasangan”
Blush.
Ku tundukkan wajahku agar mereka semua tak melihat. Aku merasakan pipiku memanas. Seisi kelas mendadak sepi, lalu. DOR! mereka menertawakan kami. Tapi ada sedikit omongan mereka yang membuat dadaku terasa hangat.
“Ya! Kalian cocok kok! kenapa nggak langsung jadian saja?”
Sekarang aku benar-benar ingin pingsan!
Teng! Teng! Teng!
“Kalian boleh istirahat, tapi kalau lonceng berbunyi empat kali, kalian semua harus sudah ada di kelas. Mengerti?”
“Mengerti, kak!” Aku merasa teriakan mereka seperti anak TK.
Seisi kelas satu persatu meninggalkan kelas. Hanya menyisakan kami berdua. Aku benar gugup di saat seperti ini. Rasanya aku ingin menghilang dengan jurus yang aku baca di komik Naruto.
“Err. Kamu nggak ke kantin?” Aku menatap wajahnya yang sepertinya kelewat polos itu. Aku menggelengkan kepalaku.
“Aku nggak dikasih uang saku hari ini.”
Lalu suasana mendadak senyap. Galih terdiam. Entah apa yang dipikirkannya. Semoga saja bukan hal yang aneh-aneh. Dia berdiri dari tempat duduknya.
“Kamu mau ke kantin? Kalau mau aku yang traktir.”
“Te-tentu, Galih-kun!” Galih memiringkan kepalanya, jelas kalau dia.
“Galih-kun?” kebingungan.
Aku tertawa kecil. “Itu panggilan untuk anak laki-laki di Jepang. Kalau nggak suka, ya nggak apa-apa.”
“Tidak. Aku suka kok kalau kamu panggil aku kayak gitu.”
Dia tersenyum ke arahku. Mendadak, pipiku terasa hangat lagi. Astaga dia membuatku seperti. Entahlah tapi aku merasa nyaman berada di dekatnya.
“Uhm? tunggu dulu. Jepang itu. ada di Eropa ya?”
Astaga?!
Kami berdua jalan menuju kantin. Yah, kelas MOS-ku dengan kantin lumayan jauh. Aku hanya menundukkan kepalaku. Karena kami berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih. Sepertinya aku menyukai cowok di sebelahku ini. Sampai aku tak sadar kalau Galih memanggil namaku.
“rin. Karin? Jangan melamun terus. Nanti kalau nabrak gimana?”
Sekilas aku melihat raut wajahnya yang tampak khawatir, “Iya. Memang kalau nabrak, aku bakal nabrak apa?”
“Nabrak hatiku.” Jawab Galih.
Pipiku kembali memanas. Astaga, ini ketiga kalinya aku merasakan jantungku berdebar-debar. Cowok ini. Galih tahu caranya untuk membuatku menunduk. Galih tahu caranya membuatku blushing padahal kami baru saja mengenal sekitar setengah jam yang lalu. Tapi, parahnya dia baru saja menggombaliku!
“Dasar gombal!” Aku mencubit lengan kanannya, lalu mempercepat langkahku meninggalkan Galih.
“Ouch, sakit! hei, Karin! tunggu aku!” Galih berlari mengejarku,” Jangan ngambek, dong”
“Galih-kun ngegombal! kalau traktirin aku cuma buat tujuan kayak gitu, mendingan aku balik ke kelas aja!”
“Maaf, Rin. Biar suasananya enak aja. Kalau diam-diaman rasanya nggak enak.”
Galih menatapku. Jujur saja, ini suasana paling romantis yang pernah aku rasakan.
“Ciee… Pasangan baru nih. Mana PJ-nya?”
Astaga, anak itu lagi. Dia yang berkomentar di kelas. Meskipun dalam hati sebenarnya aku ingin mengiyakan kalau aku beneran jadian sama Galih. Tapi, itu hanya khayalan. Nggak mungkin aku mengakuinya. Galih juga nggak ada respon. Sebaiknya aku diam saja.
“Oi! anak aneh, ngomong aja ya kamu! bisanya cuma ember!”
“Khu. Khu. Khu. Memang kenapa? takut ditolak? Khe. Khe. Khe.” Astaga! dari gaya ketawanya aja, aku merasa ada yang nggak beres sama anak ini.
Uh! sial. Kenapa tiba-tiba mataku rasanya berair. A-aku ngak sedih kok. Tapi, dadaku merasa sakit atas ucapan anak aneh itu. Aku nggak boleh nangis di depan umum apalagi di depan Galih. Aku pun berlari kembali ke kelas.
“Ka-karin!” Panggil Galih. Tapi, tidak aku hiraukan.
“Hei, mau ke kantin?”
Aku menengok ke asal suara. Ternyata bukan dia. Melainkan anak perempuan yang tidak berjilbab. Sepertinya dia Kristen. Aku menggelengkan kepalaku. Akhirnya anak itu pergi meninggalkanku sendiri di kelas. Ah. Sepi sekali. Andai saja ada Ga-?!
“Karin?”
Aku tidak menghiraukan panggilan Galih. Aku terus menatap jendela yang berlawanan dengan pintu kelas. Tap, tap, tap. Suara sepatu Galih semakin keras. Artinya dia semakin dekat dengan tempat duduk kami. Galih duduk di sebelahku. Memang di situ tempat duduknya sih.
“Hei, Karin. Jangan ngambek. Nih aku belikan es krim rasa cokelat.”
Aku menegakkan dudukku. Lalu menatap Galih yang membawa dua bungkus es krim.
“Ka-karin? kamu habis nangis?”
“Enggak kok. Tadi cuma–”
“Nggak usah bohong. Aku tahu kalau kamu sakit dikatain anak aneh itu. Nih, sakitnya pasti hilang kalau kamu makan es krim.”
Galih menyodorkan bungkus es krim berwarna cokelat. Aku yakin isinya adalah es krim cokelat. Jika tidak, perusahaan es krim yang membungkus es krim lain selain cokelat dengan bungkus ini, maka aku yakin. Orang yang mendesain mungkin mempunyai jiwa seni yang abstrak. Kembali ke cerita. Galih sudah menghabiskan es krimnya. Tapi pipi dan mulutnya belepotan dengan es krim.
“Aduh. Galih-kun kayak anak kecil aja. Sini biar aku bersihin.”
Aku pun mengambil tisu basah di tasku yang selalu Ibu bawakan. Aku mengambil selembar lalu mengusapkannya di pipi dan mulut Galih. Tapi, sayangnya dia mulai berontak.
“Aku bisa bersihin sendiri, Karin…” Galih merengek seperti balita. Padahal dia yang lebih tinggi dan lebih besar dariku.
Aku tersenyum kecil. Aku akan mengingat kejadian ini. Kejadian yang nggak pernah kulupakan.
Sejak saat itu, aku dan Galih berteman baik. Sayangnya, kami berpisah waktu pembagian kelas. Aku ada di kelas 7-A, sedangkan Galih ada di 7-B. Tapi, waktu istirahat, kami seperti saudara kandung. Nempel terus. Pernah kami bertukar nomor ponsel atau sekedar menemaninya pergi ke toko buku untuk membeli buku misteri. Tapi, peristiwa manis itu harus berhenti. Ini semua salahku karena memaksakan diri. Aku nggak bisa membendung perasaan sukaku ke Galih. Aku pun mencoba untuk menembaknya. Tapi, Galih malah pergi dari hadapanku tanpa bersuara. Itu adalah saat dimana pertama kali aku menangis untuk seorang cowok.
Untung saja aku mempunyai dua sahabat yang selalu ada di saat aku membutuhkan. Namanya Indah dan Farel. Indah selalu mengkoordinasi gerakanku untuk tidak terlalu gegabah menyangkut Galih. Sedangkan Farel selalu membantuku tentang apa yang disukai dan tidak disukai cowok.
Hari berganti hari, tahun berganti tahun. Tak terasa aku sudah menjadi seorang senpai alias senior atau Kakak kelas. Tahun ini juga aku akan pindah dari sini. Ayahku bilang, bos-nya akan memindahkan pekerjaan Ayah di Bandung. Yah, setidaknya aku tidak akan terpuruk di sini menantikan Galih melihatku lagi.
“Maaf, permisi pak. Karin dipanggil kepala sekolah.”
Lamunanku buyar karena mendengar namaku sepertinya disangkut–pautkan dengan kepala sekolah. Takut-takut aku melihat siapa yang disuruh pak kepala sekolah untuk memanggilku. Aku membatu. Dia cowok yang selama ini aku sukai. Galih memanggilku lagi. Ada sebuah gejolak di hatiku. Rasanya aku senang sekali sampai ingin berloncatan dan memeluk Akashi dari anime Kuroko no Basuke. Okay, itu terlalu berlebihan.
“Oh, nak Galih ya. Karin hari ini sensei izinkan kamu bebas dari jam pelajaran saya. Karena saya tahu pak kepala sekolah sangat lama kalau berbicara.”
Seketika itu juga aku sangat bahagia bebas dari pelajaran matematika Puji-sensei atau pak puji. Tiba-tiba saja aku merasa pak puji seperti Akashi. Aku ingin memeluknya!
Perjalanan kami ke ruang kepala sekolah cukup jauh. Itu dikarenakan kelasku yang di ujung pojok sekolah. Sedangkan ruang pak kepala sekolah berada dekat gerbang sekolahan.
“Err. Galih. Bagaimana nilai akademismu?” Tanyaku membuka pembicaraan.
Tak ada jawaban dari Galih. Aku pun menghela napas. Aku tahu. Ini semua salahku jika dia masih marah.
“Lumayan.” Aku tersenyum kecil. Langkah Galih benar-benar lebar sehingga aku yang memakai rok kewalahan mengejarnya.
Ruang Kepala Sekolah.
Akhirnya kami sampai di ruang kepala sekolah. Aku tak tahu mengapa kepala sekolah memanggilku yang notabene hanya murid biasa. Tidak seperti Kirana yang selalu juara satu lomba matematika se-provinsi atau Yudha yang menjuarai setiap lomba basket bersama teman satu geng-nya. Sebenarnya aku lebih suka menyebut geng Yudha dengan nama Kisedai. Karena Kisedai selalu menang saat bertanding basket.
“Ehm. Langsung to the point saja ya. Saya meminta kalian berdua ke sini untuk mewakili lomba mata pelajaran IPS. Karena saya tahu nilai IPS kalian paling bagus di antara yang lainnya.”
Aku tercenggang. Galih? Nilai IPS-nya tinggi? Padahal waktu itu dia bilang kalau Jepang ada di-
“Aku sudah tahu kalau Jepang ada di Asia Timur.” Ucapnya sinis.
Hehehehe. Ternyata dia sudah tahu. Aku juga ingin tahu bagaimana perasaannya saat dia tahu kalau Jepang bukan di Eropa.
“Uhm. Jadi nak Galih dan nak Karina mau menjadi wakil perlombaan ini?”
Kami berdua mengangguk bersamaan.
“Kalau begitu, waktu persiapan kalian seminggu dari sekarang.”

Aku kembali tercengang. Rumah ini. Rumah Galih besar sekali. Dua kali lipat rumahku. Apalagi rumah Galih tingkat dua.
“Tidak usah sungkan. Anggap rumah sendiri.”
Bagaimana aku bisa tidak sungkan! saat aku memasuki ruang tamunya, terlihat jelas bahwa rumah ini rumah untuk seorang bagsawan. Err. Dan aku merasa layaknya seorang putri. Hahaha.
“Ayo, kita ke halaman belakang saja.” ajak Galih.
Aku hanya mengiyakan ajakannya. Sebelum ke halaman belakang, aku melewati 2 kamar lalu tangga yang pasti menuju ke lantai atas lalu 2 lorong entah ke mana yang saling berseberangan dan satu dapur super bersih layaknya di restoran bintang lima. Di halaman belakang aku melihat meja untuk piknik yang ada payung di atasnya. Wow, keren. Tunggu! apa aku tidak salah lihat. Di sebelahnya juga ada kolam renang dan itu terlihat dalam.
“Duduk di sini aja ya. Kamu mau minum apa?”
“Ehm. Terserah kamu aja, Galih.”
Dia memiringkan kepalanya. Kenapa dia bingung? perasaan aku sudah ngucapin namanya dengan benar.
“Dulu kamu panggil aku pakai –Kun. Kenapa sekarang enggak lagi?”
“Err. Ga-galih-kun.”
Galih menampakkan wajah datarnya, lalu pergi ke dapur untuk mengambil minuman. Aku duduk diam di kursi piknik. Sedikit bersenandung untuk menghilangkan kebosanan.
“Hah. Galih-kun lama sekali” Batinku. Tiba-tiba saja ada seseorang yang menepuk pundakku.
“Kamu siapa?”
Aku bingung. Orang ini siapanya Galih ya? “A-aku temannya Galih-kun.”
“Galih-kun? kamu pacarnya Galih ya? Baka otouto ternyata bisa menarik perhatian gadis ya!” yang benar saja, siapa orang ini?
Jduag!!! Bunyi apa itu?
“O-onee-chan! jangan ganggu Karin.” Galih datang dengan membawa dua gelas kaca yang berisi jus jeruk. Tu-tunggu dulu. Tadi Galih memanggil orang ini, Onee-chan. Berarti orang ini adalah Kakak Galih. Yah. Memang dia lumayan cantik dan kulitnya putih.
“Galih-kun manggil onee-chan?”
Galih hanya mengangguk. Sementara perempuan yang menghampiriku tadi malah berseru tak jelas, “Oh! akhirnya. Setelah menunggu tiga belas tahun dari dia lahir sampai sekarang. akhirnya baka otouto mempunyai gadis yang akan mendampinginya, gadis yang-?!”
“Onee-chan, hentikan. Kau membuat Karin malu.”
Galih benar. Pipiku terasa hangat hingga ku tundukkan. Aku tak ingin ada yang melihat rona kemerahan yang menghiasi pipiku saat ini. Aku benar-benar malu.
“Oh, ya? ku rasa dia malah sangat senang.” Galih hanya geleng-geleng kepala, “Kenalkan, namaku Risa. Kakak Galih yang suka anime Jepang!”
“Kak Risa suka anime Jepang?” Tanyaku malu-malu.
“Ya! cita-citaku adalah menjadi seorang komikus terkenal!”
Yah, itulah perkenalanku dengan Kakak Galih. Tidak banyak yang terjadi, hanya saja dia menanyakanku tentang bagaimana aku dan Galih berkenalan. Seminggu kemudian lomba pun diadakan di SMP Pancasila. Kabar juaranya diumumkan seminggu setelahnya dan juara satu itu adalah aku! Oh, betapa senangnya diriku. Belum pernah aku menjuarai satu lomba pun. Itu karena aku belum pernah ikut satu lomba manapun. Dan pada kesempatan yang pertama aku menjadi juara satu! untuk Galih, kabarnya dia mendapat juara harapan satu. Setidaknya itu lebih baik daripada tidak menjuarai bukan.
Hubungan kami berlangsung lebih baik setelahnya. Galih jadi lebih sering menyapaku ketika berpapasan. Tapi, semua kejadian manis itu harus berakhir lagi. Galih pindah sekolah pada awal Oktober. Aku sedih sangat sedih. Sempat aku berdoa agar itu hanya kabar burung semata. Aku salah lagi. Dia benar-benar indah dan aku merindukannya. Akhir bulan November aku dan keluargaku pindah ke Bandung. Sperti janji Ayah, aku diberi kesempatan satu hari sebelumnya untuk berpamitan dengan teman-temanku. Sayangnya, di sini sudah tak ada Galih. Hmm, bagaimana ya keadaan Galih.

Delapan tahun. Delapan tahun sejak pertemuan terakhir mereka.
Seorang gadis berambut berwarna hitam itu kini tengah berjalan melawan arus di antara lautan manusia di kota besar itu -Jakarta. Rambut hitam legam sepunggung gadis itu kini terlihat sedikit acak-acakan, mengingat sedari tadi gadis itu menabrak orang-orang yang silih berganti melintas di dekatnya. Pada kedua tangan itu terdapat sebuah map berisi berkas-berkas penting yang ia butuhkan untuk melamar di tempat kerjanya yang baru.
Gadis bernama Irana Karin itu terus berjalan dalam lautan manusia tersebut tanpa berniat sekalipun untuk menghentikan langkahnya. Kadang tubuh gadis itu terasa oleng ketika tak sengaja tubuhnya ditabrak oleh orang-orang yang ukuran tubuhnya jauh lebih besar dari tubuhnya. Namun baru saja gadis itu mengalihkan pandangannya pada jam tangan yang melingkar di tangannya, tubuh gadis itu terdorong, menyebabkan gadis berusia 21 tahun itu jatuh terduduk. Dengan segera Sakura langsung mengembalikkan kesadarannya dan membereskan berkas-berkasnya yang kini berceceran di atas tanah.
Dan pandangan gadis itu pun terhalang oleh sebuah tangan yang turut membantu membereskan berkas-berkas yang berceceran tersebut. Si penolong itu kemudian bangkit dari posisi jongkoknya, diikuti oleh Karin yang kini tengah mengebas-kebaskan roknya yang terkena tanah. Saat Karin ingin berterima kasih atas bantuan malah ia dikejutkan dengan sesuatu yang tak terduga.
“Te-terima kasih?”
“Kita bertemu lagi, ya. Karin..”
Karena bagaimanapun pasangan dipisahkan pada akhirnya benang merah yang terlilit pada kedua jari mereka itulah yang akan menuntun mereka kembali. Karena cinta tidak mengenal jarak dan waktu
Cerpen Karangan: Karina Rakeen Fadillah

0 komentar:

Posting Komentar